Pasca disahkannya Undang-undang Kepalangmerahan para Pengurus, staf, relawan dan seluruh insan palang merah merasa senang. UU tersebut dinilai menempatkan posisi strategis bagi PMI untuk berkontrubusi lebih nyata ke tengah masyarakat. Namun demikian, agaknya euforia tersebut serasa berlebihan mengingat konsekwensi logis yang mesti dikerjakan oleh PMI. Antusiame dalam menyambut UU tersebut perlu mempertegas dalam menempatkan posisi PMI dalam pendidikan nasional.
Pendidikan
Pemerintah terus berupaya meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui pendidikan. Pendidikan dinilai sebagai barometer manusia dalam peradaban modern yang humanis. Adanya Palang Merah Remaja (PMR) di sekolah dan Korp Sukarela (KSR) di Perguruan Tinggi semestinya menjadi sebuah kawah candradimuka pihak penyelenggara pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan pada peserta didiknya. Namun demikian, agaknya respon penyelenggara pendidikan terhadap dua organisasi ektra tersebut kurang begitu mengesankan. Hal ini merupakan imbas dari kapitalisasi dan pragmatisme yang dewasa ini menjadi kental dan melunturkan budaya lokal.
Kepedulian diri terhadap diri dan lingkungan sejatinya telah menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Gotong-royong, gugur gunung, dan berbagai istilah sejenis dalam budaya lokal masyarakat sejatinya menunjukkan kepedulian dan kemanusiaan sebagai karakter bangsa ini. Hegemoni kapital melalui pendidikan dan gaya hidup telah menjadikan budaya lokal menjadi terkesan udik dan terpinggirkan. PMR dan KSR sebagai generasi 'humanis' juga terpinggirkan oleh ekstra musik, les eksak dan berbagai kegiatan lainnya.
Memperhatikan hal tersebut, penulis menilai perlu adanya sebuah reposisi terhadap peran keduanya dalam sebuah institusi pendidikan sehingga mekanisme pembinaan yang dijalankan dapat merealisasikan target diharapkan, menumbuhkan spirit saling membantu, jiwa sosial kemanusiaan, dan memperkuat karakter khas bangsa Indonesia yang adiluhung.
Proporsi Sejarah Pendidikan Formal
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Kekuatan sebuah bangsa tak lepas dari adanya kesadaran bangsa terhadap sejarah bangsanya. Demikian pentingnya pahlawan dan sejarah bagi sebuah bangsa yang merdeka sehingga Presiden Soekarno menyatakan Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sebab, bermula dari pemahaman fakta sejarah itulah para generasi penerus bangsa dapat menghargai jasa para pejuang dan memiliki tekad untuk terus memperjuangkan negaranya menuju kejayaan.
Banyak fakta sejarah tentang peran PMI di masa sebelum kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Sejak sebelum bisa diakui karena syarat untuk menjadi bagian Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional harus negara merdeka hingga perannya bagi bangsa setelah secara resmi menjadi negara yang mengikuti konverensi Geneva, Swiss. Sejarah PMI tak tercatat dalam sejarah nasional dan tak menjadi bagian dari bahan ajar di sekolah. Sebuah paradigma ironi dalam pendidikan nasional.
Para peneliti sejarah mengungkapkan fakta tentang peran laskar sangat dominan dibandingkan tentara. Hal ini berbanding terbalik dengan sejarah yang diajarkan di Sekolah. Pendidikan sejarah sering diajarkan tanpa rasio sejarah yang benar. Demikian juga fakta sejarah yang diungkap oleh para peneliti sejarah menunjukkan perbedaan mencolok dengan sejarah yang ada dalam kurikulum.
Menariknya, peran PMI justeru disinggung dalam buku sejarah perjuangan para laskar. Diterangkan, PMI di Kota Semarang memiliki peran melalui dapur umum dan pertolongan korban perang sebagaimana saat terjadi baku tembak di Bugen. Dalam buku sejarah yang ditulis oleh veteran eks Hizbullah menyatakan korban perang tersebut dilarike ke Solo oleh PMI.
Proporsi sejarah dalam kurikulum yang tak tercapai tersebut semestinya menjadi bahan evaluasi pihak penyelenggara pendidikan untuk menempatkan PMR sebagai kegiatan ektra yang mendapat perhatian sama seperti Pramuka.
Penulis :
A. Rifqi Hidayat, S.Pd
Relawan PMI Kota Semarang.
Pernah mengikuti Diklat Satgana dan Kehumasan PMI Provinsi Jawa Tengah